SPEE FSPMI Aceh Kecewa Berat, Pemerintah Dinilai Abai terhadap Nasib Buruh dengan Tak Naikkan UMP 2026.( Foto Dokumentasi Wartanad.id)
BANDA ACEH ( WARTANAD.ID) — Serikat Pekerja Elektronik Elektrik Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPEE FSPMI) Aceh meluapkan kekecewaan mendalam terhadap kebijakan Pemerintah Aceh yang memutuskan tidak menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) Aceh tahun 2026. Keputusan tersebut dinilai sebagai bentuk ketidakpekaan sosial dan minim empati terhadap kondisi riil buruh Aceh yang saat ini berada dalam tekanan ekonomi berat. Selasa ( 30/12/2025)
Pernyataan keras ini disampaikan langsung oleh Ketua SPEE FSPMI Aceh, Syarifuddin, yang menegaskan bahwa kebijakan tersebut diambil di tengah situasi Aceh yang sedang dilanda bencana banjir bandang dan tanah longsor di berbagai daerah. Menurutnya, kondisi darurat ini justru menuntut kehadiran negara yang lebih berpihak kepada rakyat pekerja, bukan sebaliknya.
“Buruh Aceh hari ini menghadapi beban ganda. Di satu sisi, bencana alam menyebabkan harga kebutuhan pokok melonjak drastis. Di sisi lain, pemerintah justru memutuskan membekukan UMP. Ini sangat melukai rasa keadilan buruh,” tegas Syarifuddin.
Ia menjelaskan bahwa dampak bencana tidak hanya berupa kerusakan infrastruktur dan kerugian materi, tetapi juga mengganggu distribusi barang dan jasa, sehingga memicu kenaikan harga bahan pangan, air bersih, hingga kebutuhan rumah tangga lainnya. Kondisi tersebut secara langsung menggerus daya beli buruh yang penghasilannya tetap stagnan.
Menurut Syarifuddin, UMP merupakan jaring pengaman paling dasar bagi buruh untuk mempertahankan kehidupan yang layak. Ketika biaya hidup melonjak akibat bencana dan tekanan inflasi, sementara upah tidak mengalami penyesuaian, maka secara nyata buruh mengalami penurunan kesejahteraan.
“Ini bukan sekadar soal angka UMP. Ini soal keberlangsungan hidup keluarga buruh. Upah tidak naik, harga naik, lalu siapa yang harus menanggung beban ini kalau bukan buruh?” ujarnya dengan nada kecewa.
SPEE FSPMI Aceh menilai, kebijakan Pemerintah Aceh tersebut mencerminkan kurangnya empati dan kepekaan sosial terhadap kondisi buruh di lapangan. Buruh merasa diabaikan dan tidak diprioritaskan, padahal merekalah yang tetap bekerja menggerakkan roda perekonomian Aceh, bahkan di tengah situasi bencana dan keterbatasan.
Pemerintah Aceh sendiri beralasan bahwa keputusan tidak menaikkan UMP 2026 diambil karena fokus pemerintah tertuju pada penanganan bencana, pemulihan infrastruktur, serta bantuan kemanusiaan. Namun alasan ini dinilai tidak dapat dibenarkan sepenuhnya oleh SPEE FSPMI Aceh.
“Penanganan bencana dan perlindungan kesejahteraan buruh bukan dua hal yang saling bertentangan. Justru dalam kondisi krisis, kebijakan pengupahan yang adil menjadi semakin penting untuk menjaga stabilitas ekonomi dan ketahanan sosial,” kata Syarifuddin.
Ia menegaskan bahwa buruh juga merupakan korban langsung dan tidak langsung dari bencana. Oleh karena itu, sangat tidak adil jika beban penanganan bencana justru secara tidak langsung dialihkan kepada buruh melalui kebijakan upah yang dibekukan.
Lebih jauh, SPEE FSPMI Aceh mengingatkan bahwa kebijakan ini berpotensi memperparah kondisi sosial ekonomi, menurunkan daya beli buruh, serta meningkatkan kerentanan keluarga buruh terhadap kemiskinan dan masalah sosial lainnya. Kebijakan tersebut dinilai tidak sejalan dengan semangat perlindungan pekerja dan keadilan sosial yang seharusnya menjadi fondasi utama dalam setiap pengambilan keputusan pemerintah.
“Atas dasar itu, kami mendesak Pemerintah Aceh untuk segera mengevaluasi dan meninjau ulang keputusan tidak menaikkan UMP Aceh tahun 2026. Buruh membutuhkan keberanian politik, empati, dan keberpihakan nyata dari pemerintah,” tegas Syarifuddin.
Ia menutup pernyataannya dengan peringatan keras bahwa tanpa perubahan kebijakan, keputusan ini hanya akan meninggalkan luka sosial yang dalam dan memperlebar jurang ketidakpercayaan buruh terhadap pemerintah.
“Buruh Aceh tidak menuntut kemewahan. Kami hanya menuntut keadilan,” pungkasnya.


